Megahnya Arsitektur Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun dengan Putih Telur

  • Gaffar
  • Oct 15, 2016
Mesjid Sultan Riau

Masjid Raya Sultan Riau adalah salah satu obyek wisata sejarah termasyhur yang berada di Pulau Penyengat, Propinsi Kepulauan Riau. Masjid ini mulai dibangun ketika  pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, istri penguasa Riau waktu itu, Sultan Mahmudsyah (1761— 1812 M). Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi kurang lebih 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah jamaah yang terus bertambah, sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman —Sultan Kerajaan Riau pada 1831—1844 M— berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut. Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman menyeru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan  bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 H (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idulfitri.

Mesjid Sultan Riau
Mesjid Sultan Riau

Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut. Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk  mengantarkan bahan bangunan, makanan dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada sang Pencipta dan sang sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut, sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, pondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.

baca juga – Candi KalasanWisata Candi Kalasan Merupakan Peninggalan Tertua Candi Budha

Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur, sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek yang berkebangsaan India dari Tumasik (sekarang Singapura) punya ide untuk memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini. Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini adalah bangunan istimewa yang wajib dilindungi, karena merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan RiauLingga yang masih utuh. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid,terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

Panorama Mesjid Raya Sultan Riau
Panorama Mesjid Raya Sultan Riau

Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India. Susunan kubahnya bervariasi, mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlah, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rekaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari.

Pintu Gerbang Mejid Raya Sultan Riau
Pintu Gerbang Mejid Raya Sultan Riau

Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Masjid Sultan Riau di Penyengat ini sangat unik. Tidak diketahui secara persis gaya arsitektur mana yang diadopsi oleh masjid ini. Ada yang mengatakan, masjid ini bergaya India, karena tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Tumasik (Singapura).Namun, dilihat dari bentuk bangunan utama dan bagian-bagian yang mendukungnya, arsitektur masjid ini merupakan perpaduan dari berbagai gaya, yaitu Arab, India, dan Melayu.

baca juga – Candi PrambananWisata Candi Prambanan yang Diakui Sebagai Candi Tercantik Di Dunia

Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1991 dan 1995, Masjid Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah di atapnya. Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Mushaf bergaya Istambul ini ditulis oleh penulisnya di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat.

Suasana Balai Desa di Kompleks Masjid Raya Sultan Riau, di Kampung Jambat, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Suasana Balai Desa di Kompleks Masjid Raya Sultan Riau,

Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Alquran tulisan tangan yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya, karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada wisatawan lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300-an kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan RiauLingga, saat terjadi eksodus besar-besaran masyarakat Riau ke Singapura dan Johor pada awal abad ke-20 karena kecamuk perang melawan penjajah Belanda.

Lanscape Mesjid Raya Sultan Riau
Lanscape Mesjid Raya Sultan Riau

Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik. Di dekat mimbar Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Mekkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak. Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapidengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah.

baca juga – Wisata Candi Borobudur Mahakarya Arsitektur Indonesia Abad ke 9

Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sedangkan rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid. Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan rumah sotoh—bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini. Masjid Raya Sultan Riau terletak di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Pengunjung tidak dipungut biaya. Namun, bagi pengunjung yang ingin beramal, di pintu utama masjid terdapat kotak amal, atau dapat diberikan langsung kepada pengurus masjid.

rumah sotoh mesjid raya riau
rumah sotoh masjid raya riau

Untuk mencapai Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pengunjung harus menaiki perahu motor yang dermaganya berada di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang. Perahu motor berkapasitas 13 orang yang bentuknya seperti bangunan rumah adat Melayu itu akan membawa pengunjung melintasi laut selama kurang lebih 15 menit, dengan ongkos perjalanan Rp 5.000 (Juli 2008). Namun, ongkos perahu motor tersebut menjadi berlipat-lipat bagi rute sebaliknya, yaitu dari Pulau Penyengat menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura. Jika malam belum tiba, ongkos balik tersebut berada pada kisaran antara Rp 10.000— 15.000. Namun, jika malam sudah menjelang, ongkosnya bisa naik mencapai 100 persen, yaitu sekitar Rp 30.000 sekali jalan.

Sejarah Pulau Penyengat

Menurut cerita, pulau mungil di muara Sungai Riau, Pulau Bintan ini sudah lama dikenal oleh para pelaut sejak berabad-abad yang lalu karena menjadi tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang cukup banyak tersedia di pulau ini. Belum terdapat catatan tertulis tentang asal mula nama pulau ini. Namun, dari cerita rakyat setempat, nama ini berasal dari nama hewan sebangsa serangga yang mempunyai sengat. Menurut cerita tersebut, ada para pelaut yang melanggar pantang-larang ketika mengambil air, maka mereka diserang oleh ratusan serangga berbisa. Binatang ini yang kemudian dipanggil Penyengat dan pulau tersebut dipanggil dengan Pulau Penyengat. Sementara orang-orang Belanda menyebut pulau tersebut dengan nama Pulau Mars.

Tatkala pusat pemerintahan Kerajaan Riau bertempat di pulau itu ditambah menjadi Pulau Penyengat Inderasakti. Pada 1803, Pulau Penyengat telah dibangun dari sebuah pusat pertahanan menjadi negeri dan kemudian berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga sementara Sultan berkediaman resmi di Daik-Lingga. Pada tahun 1900, Sultan Riau-Lingga pindah ke Pulau Penyengat. Sejak itu lengkaplah peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan kebudayaan Melayu.

Letak Geografi

Pulau ini secara geografis terletak diantara104°20’ Bujur Timur 04°30’ Bujuir Timur dan 0°50’Lintang Utara–1°Lintang Utara. Secara administrasi Pulau Penyengat merupakan salah satu desa di Kecamatan Tanjungpinang Barat dengan batas-batas wilayah sebagai berikut di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjungpinang Kota, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Kampung Bugis, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pangkil.

Budaya Masyarakat setempat

Pada perkembangan tahun 1903 masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Muazzam Syah, kedudukan sultan pindah ke Pulau Penyengat. Dan sejak saat itu, pulau tersebut berperan sebagai pusat pemerintahan, pusat adat istiadat, pusat agama, dan pusat kebudayaan. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat Pulau Penyengat dikenal sebagai masyarakat yang agamis atau masyarakat yang taat beragama.

Mata Pencaharian Masyarakat setempat

Pulau Penyengat terdiri dari beberapa buah kampung yang tergabung dalam suatu desa atau kepenghuluan: Kepenghuluan Pulau Penyengat. Jumlah penduduknya 2026 jiwa {1989}, sebagian besar adalah suku {etnis} Melayu dan sehari-hari berbahasa Melayu, bahasa Melayu Riau. Mata pencaharian penduduk terutama menjadi nelayan, buruh lepas, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri dan swasta di Tanjung Pinang.

Pergeseran nilai dari mata pencaharian sebagai nelayan menjadi pegawai sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang dicapai oleh penduduk setempat. Disamping para orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya seperti mereka, menjadi nelayan mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarga. Para orang tua di desa Penyengat sekarang menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri karena menurut anggapan mereka pegawai itu punya masa depan yang bagus.

Lokasi Menuju Wisata dari berbagai tempat

Pulau Penyengat terletak di sebelah Barat kota Tanjungpinang sejauh lebih kurang 1,50 Km dari kota Tanjungpinang. Luasnya tidak lebih dari 3,50 Km. Tanahnya berbukit-bukit terdiri dari pasir bercampur kerikil, sementara pantainya umumnya landai; sebahagian berumput, sebahagian lagi berbatu karang.

 Fasilitas Wisata

Fasilitas wisata di Pulau Penyengat masih minim.

Paket Wisata

Tanjung Pinang City Tour & Pulau Penyengat ( Makan Siang )

  1. Tiba di pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang sekitar pukul 08.30 WIB
  2. Kemudian, kita naik mobil / van / bus yang sudah menunggu
    menuju ke Plantar 2 untuk tur Wisata Sejarah Melayu ke Pulau Penyengat dengan menggunakan pompong (Perahu Tradisional)
  3. Di Pulau Penyengat, kita akan naik becak motor untuk mengelilingi pulau sambil mengunjungi Masjid Sultan
  4. Riau, Istana Kantor, Gudang Mesiu
  5. Rumah Tengku Bilik
  6. Rumah Balai Adat Indra Perkasa, Bukit Kursi,
  7. Kuburan – Kuburan Raja Melayu (Engku Putri Raja Hamidah adalah seorang pemegang regalia kerajaan, Raja
  8. Haji Fisabilillah adalah seorang Pahlawan Nasional
  9. Raja Ali Haji adalah seorang ahli penyair, juga pencipta Gurindam 12, dan lain – lain).
  10. Setelah itu, kita kembali ke Kota Tanjungpinang, naik mobil / van / bus, dan
    makan siang di rumah makan lokal / restoran seafood. Kemudian
    kita akan tur mengelilingi Kota Tanjungpinang (Menikmati Pemandangan Tepi Laut, berbelanja di Bintan
  11. Indah Mall, Bestari Mall, Ramayana Mall, dan juga Pasar Tradisional yang menjual banyak jenis makanan, seperti otak – otak, ikan bilis, dan makanan olahan laut lainnya).
  12. Selanjutnya, kita menuju ke Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang untuk berangkat kembali ke Batam sekitar pukul 17.30 WIB. Akhirnya,

KETERANGAN
Harga Paket dan Rencana Perjalanan Bisa Berubah Kapan Saja
(Disesuaikan Dengan Perubahan Situasi dan Kondisi yang Terjadi)

No Kontak Jasa Paket Wisata

 

Gedung Graha Pena Batam Lantai 8 Ruang #805-1B
Jalan Raya Batam Center – Pulau Batam 29641
0778 – 364724
info@kenz-tours.com
Sumber : www.kenz-tours.com

NB

Pastikan dulu, anda akan ke Tanjung Pinang/Pulau Bintan

  • Jika Ke Tanjung Pinang, Turun di Pelabuhan Tanjung Pinang
    (Kapal Ferry, jarak tempuh 1 jam)
  • Jika Ke Pulau Bintan/Lagoi, Turun di Pelabuhan Tanjung Uban
    (dengan Kapal Ferry, jarak tempuh lebih lama 2 jam)
  • Karena Tanjung Pinang dengan Lagoi,
    merupakan kota yang berbeda
  • Naik Taksi dari Bata centre, ke Pelabuhan Pugur Rp 120k
  • Dari Jakarta, tersedia Penerbangan langsung Ke Tanjung Pinang
  • Dari Singapore juga bisa Naik ferry ke Tanjung PinangLagoi

Jadwal Kapal

Kapal ada setiap 1/2jam  Untuk pilihan kapal ada beberapa macam,  Yang saya tahu ada 2 harga,  Untuk pilihan kapal ini yaitu Rp 57rb dan 62rb  (Katanya Perbedaannya sih, dari kapalnya jenis baru atau lama) Di tambah lagi dengan tiket masuk pelabuhan Rp 5rb/ orang . Untungnya anak-anak Tiket tidak berlaku,

Video Keindahan Mesjid Raya Sultan Riau

Peta Lokas Mesjid Raya Sultan Riau

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *